Rock Bottom

Image from Pinterest

Langit gelap, mendadak hujan deras turun dan mulai membasahi jendela dapur yang gue buka lebar setiap pagi. Gue letakan gelas kopi yang sedang gue aduk, sambil menuju untuk menutup jendela agar air hujan tidak masuk. Sekelibat tergambar visualisasi dapur yang sudah lengkap dengan gorden manis dan gantungan-gantungan berwarna-warni di dinding hasil berburu di lokasi tempat berlibur. Visualisasi yang sekarang terlihat sangat jauh. Gue melihat kulit roti sourdough yang baru saja gue hangatkan di air fryer sampai garing, isinya setengah matang, sepertinya karena kurang lama fermentasinya karena gue masih mengulik resep. Gue makan sembari menyedot es kopi yang gue buat dengan susu evaporasi yang hampir menjadi yoghurt, sedikit agak asam segar tapi gue pikir, gapapalah sekalian dihabiskan. Gue setel youtube, mencari rekaman Dvet siaran pagi yang pagi ini hanya sempat gue dengarkan setengah-setengah. Tiba-tiba ada rasa yang muncul di hati, seperti rasa nyaman yang bercampur rasa kekalahan. Nyaman dengan yang gue jalani tetapi merasa kalah karena kehilangan ambisi. Gue sapu lantai dapur sampai tidak terasa lagi remah-remah misterius di kaki, seperti ada rasa yang besar menarik gue untuk merebahkan diri disini.

Bekerja sebagai penyedia jasa, gue punya kebebasan untuk mengatur jadwal sendiri, tapi itu juga artinya, kalau gue tidak bisa mengatur diri sendiri, jadwal itu juga tidak akan terisi. Beberapa tahun belakangan seperti pukulan keras, masalah pada pekerjaan yang sangat mempengaruhi mental sampai gue butuh waktu yang sangat lama untuk gue cerna dan gue cari solusi. Rasa sakit hati sudah bisa gue sembuhkan, tapi ambisi membara yang dulu selalu ada di dalam diri ini seperti belum kembali. Ambisi yang membawa gue ke kehidupan yang hanya berani gue impikan, tapi tidak berani untuk gue bayangkan menjadi kenyataan. Yang hadir sekarang rasa nyaman untuk mengurung diri, memenuhi diri dengan personaliti yang ingin gue miliki. Membentuk opini sesuai dengan standar diri. Hal seperti ini tidak bisa selamanya toh, hidup masih berjalan, dunia masih menggunakan uang sebagai nilai tukar. Untuk saat ini cukup, tapi untuk masa depan masih menjadi beban pikiran. Menjadi beban karena baterai ambisinya belum terisi kembali.

Di lantai mozaik hitam putih gue merebahkan diri, diterangi semburat lampu LED kuning hangat yang memberikan efek homey. Dipasang tersembunyi agar yang muncul pantulan semu, tapi dari angle ini cahayanya terang menyilaukan mata. Gelap mendung kebiruan bersatu dengan remang kuning kehangatan, keadaan yang paling sempurna dalam kamus gue untuk menggambarkan rumah yang nyaman, tapi lagi-lagi kenyamanan ini terasa salah, seharusnya gue tidak senyaman ini. Perasaan bergejolak, gue ingin menerima momen yang membuat gue bahagia, gue mau menyerap kebahagiaan yang hadir tanpa gue minta. Menjadi sulit karena seumur hidup gue mengaitkan kebahagiaan dengan bencana yang akan datang setelahnya, tapi kenapa sehabis bahagia harus ada bencana? Memang tidak boleh bahagia terus? Di lain sisi gue merasa bersalah menerima kebahagiaan ini, ini belum waktunya gue untuk bahagia, gue masih harusnya bersusah-susah, masih harus merakit ke hulu, belum boleh berenang ke tepian. 

Di film-film Hollywood, kalau karakternya udah nelongso begitu, udah ngerasa kalah sampe bisanya cuma bengong, gak lama langsung montage dia lagi berusaha bangkit dan dua menit kemudian dia sudah senang menjalani kesuksesannya. Boleh gak usaha gue untuk bangkit juga langsung jadi montage dua menit, mau langsung ke happily ever afternya aja.



Comments

Popular Posts