Self Sabotage
Di tengah kebengongan gue, tiba-tiba gue kepikiran sebenernya gue udah mencoba banyak hal untuk create sesuatu di dunia ini dan hal yang gue coba itu gak gagal-gagal banget, menuju berhasil tapi abis itu gue yang mundur sendiri. Kayak, sebenernya kalau gue bisa fokus dan konsisten itu berpotensi besar untuk bisa sukses dan berkecukupan, tapi ada tembok tidak kasat mata yang menjadi pembatas gue untuk berhenti dan menarik diri.
Dimulai dari paling awal usaha gue untuk menjalani sesuatu itu blog ini. Pada masanya views gue per-bulan itu jutaan, per-blogpost-nya views-nya itu puluhan sampe ratusan ribu. Padahal gue tau kurang lebih views orang-orang dan rate yang mereka pasang kisarannya berapa di saat itu, tapi gue tetep nge-charge fee yang lebih rendah padahal views gue jauh lebih tinggi. Per-bulan dari blog ini dulu gue bisa dapet 2 digit tapi gue burnout dengan ekspektasi orang di masa itu bahwa blogger yang sering terima postingan berbayar adalah blogger yang sell out, akhirnya gue menarik diri dan menghilang. Padahal pada jaman itu blogger/influencer itu masih konsep yang baru banget di dunia marketing.
Pernah juga jualan asuransi, kalau dilihat balik ke belakang, gue merasa gue bekerja bukan yang terbaik, belum dapet titel-titel besar yang bisa dibanggakan, tapi kalau dilihat dari angka itu sudah di atas rata-rata. Gue udah bisa jalan-jalan ke luar negeri sampe liburan 2 minggu ke Bali dengan nginep di hotel-hotel bintang 5, hal yang sebelumnya gue pikir gak akan bisa gue rasain dengan kerja keras sendiri. Tapi lagi, ketika mulai mau naik kelas, beban makin berat, kali ini masalah internal yang bikin gue kepentok dan mundur perlahan.
Gue juga merambah dunia makeup, gue selalu merasa makeup gue gak bagus, ngerasa gue cuma "pura-pura" jadi makeup artist karena gatau lagi mau ngapain waktu itu dan ketika gue mulai, kerjaan ini tuh masih awam banget dan orang ngertinya kalo makeup itu ya kerjanya di salon. Kalo gak, orang taunya orang-orang yang menjadi makeup artist itu cuma orang gak ada kerjaan aja yang ngeles makeup abis itu ngaku-ngaku biar jadi titel aja. Tapi di jalur ini Tuhan baik, pertemukan gue dengan orang-orang baik yang percaya dengan gue bahkan ketika gue tidak percaya dengan diri gue sendiri. Bisa dibawa dari Jakarta keliling Indonesia, bahkan dibawa sampe ke luar negeri. Bisa dipercaya dan kerja bareng orang-orang yang gue kagumi hasil karyanya. Walaupun kalau mau dibandingin dengan MUA-MUA sukses ya gue masih kalah jauh, tapi semua yang gue alamin itu udah melebihi ekspektasi gue dari apa yang gue bisa dapet dari ngerjain kerjaan ini. Ada poinnya yang gue sebenernya bisa launch lebih tinggi lagi, tapi gue gak siap dengan tekanan mental dari situasinya yang membuat gue lagi-lagi menarik diri.
Setiap momen gue menarik diri itu setelahnya pasti ada rasa depresi dari kekecewaan yang mengikuti. Rasa kecewa dengan diri sendiri karena merasa gagal menjadi orang sukses. Merasa harus mulai sesuatu dari 0 lagi saat teman-teman sepantaran gue yang berfokus pada bidang mereka dari awal udah ada di tahap hidup yang nyaman, Bersahabat dengan rutinitas di luar kepala dengan pendapatan yang cukup untuk membangun hidup yang mereka mau, sedangkan gue masih harus bergelut dengan dunia baru, dengan ketidaknyamanan, dengan lingkungan baru yang harus gue jelajahi ulang.
Gue tuh kalo berangkat kerja pagi dianterin suami entah kenapa malah jadi suka deep talk, atau lebih ke gue yang curhat aja sih pemikiran-pemikiran gue belakangan. Gue bahas kalau dari kecil itu gue selalu merasa menjadi pribadi yang gagal. Sekolah ya gak pinter-pinter amat, ekstrakurikuler gak banyak, dari segi fisik juga bukan yang terbaik, hubungan pertemanan juga so-so, kuliah juga cukup aja, pokoknya gak ada yang bisa dibanggain deh dari diri gue sendiri.
Tapi sekarang di masa penyembuhan mental gue ini, semakin hari semakin gue bisa shift my mindset into a more positive one. Fokus gue adalah menemukan diri gue sendiri. Apa yang gue suka, apa yang gue mau lakukan, apa yang menjadi boundaries gue, apa prinsip hidup yang mau gue jadikan pegangan, mau mencari Vani itu siapa sih? Saking gue ga percaya sama diri gue sendiri sampe baru setahunan ini gue bangga dengan nama gue, ketika gue baca dan sebutkan nama gue sendiri gue merasa ini adalah nama yang perfect untuk gue. Nama ini adalah gue. Sebegitunya gue gak tau gue siapa sampe gue selalu merasa gue hidup dalam kepura-puraan. Like, I know I have good traits but I just did it just because it was what society deems as the right thing to do. But what is the right thing?
Gue menyadari rasa tidak percaya dengan pendapat dan pemikiran gue sendiri itu berawal dari core memories waktu kecil yang gue inget banget selalu diperbandingkan dengan sepupu, yang mana yang dibandingkan itu sepupu-sepupu yang lebih well-off. Selalu gue yang salah, mereka yang benar. Selalu gue yang bodoh, mereka yang pinter. Selalu mereka lakuin apa harus gue juga lakuin karena di mereka hasilnya bagus, padahal maybe their forte is no my forte. Kayak ngebandingin ikan sama monyet buat manjat pohon, mereka monyetnya, gue ikannya. Ditambah apapun hal baik yang gue lakukan tidak mendapatkan validasi atau support yang gue butuhkan, The support was scattered and mixed with sarcasm, so it didn't resonate well with younger me who still need guidance from my parents. As I get older, I don't want to blame them, I understand now that they didn't have the resources to heal like I do now, but that doesn't mean that my traumas is not valid and just magically disappear.
Gue rasa hal itu bener-bener membentuk kepercayaan diri gue yang rendah, jadi di otak gue itu isinya selalu percaya kalau apapun yang gue lakukan, pasti orang lain yang akan bikin lebih bagus. Apapun itu yang gue lakukan, pasti salah dan nanti akan ada orang yang komplen dan merendahkan kerjaan gue. Jadi ketika ada sesuatu yang di luar kemampuan gue, bukannya gue pelajari dan berproses, gue langsung shut down dan gak mau ngapa-ngapain. Ada ketakutan yang begitu besar untuk gagal karena daripada memuji proses perkembangan yang gue jalani, pasti kegagalan secuil itu yang akan diungkit sampai mati. Dan mungkin gue sudah terlalu muak dengan siklus berulang itu.
So, what is the right thing? Buat gue sekarang the right thing adalah mengajarkan diri gue banyak hal yang seharusnya sudah gue dapatkan sedari kecil. Gue sudah mengikhlaskan diri menjadi orang yang "telat" dalam mengerti banyak hal, tapi gak ada gunanya menyesali kan. Jadi memang waktunya sekarang, untuk memulai. Mungkin bukan telat, tapi waktu yang tepat.

Comments
Post a Comment
Thank you for reading my blog, lovelies~
Every single comment you give always makes me smile for the whole day!
Drop your thoughts here and tell me what you think! Tee hee~
Have a nice day! :D